Relasi Tata Tertib Sekolah Dengan Pendidikan Moral

Hubungan antara kenyataan hukum atau tata tertib sekolah dan moralitas atau pendidikan moral yang efektif sangat intensif, pada hakikatnya karena hukum itu hanya penglogisan dari nilai-nilai moral.

Gerakannya dikekang oleh generalisasi dan penentuan kebutuhannya, hukum itu berubah-ubah secara lebih langsung sebagai suatu fungsi dari perubahan-perubahan moralitas (Johnson, 2006:286).

Moral berkaitan dengan disiplin dan kemajuan kualitas perasaan, emosi dan kecenderungan manusia; sedangkan aturan pelaksanaanya merupakan aturan praktis tingkah laku yang tunduk pada sejumlah pertimbangan dan konversi lainnya.

Moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat. Nilai-nilai moral itu berada dalam suatu wadah yang disebut moralitas, karena di dalamnya terdapat unsur- unsur keyakinan dan sikap batin dan bukan hanya sekedar penyesuaian diri dengan aturan dari luar diri manusia.

Moralitas dapat bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Moralitas yang bersifat intrinsik berasal dari diri manusia itu sendiri, sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada (Tedjosaputro, 2003:6). Moralitas intrinsik ini esensinya terdapat dalam perbuatan diri manusia itu sendiri.

Moralitas yang bersifat ekstrinsik penilaiannya didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah maupun larangan. Moralitas yang bersifat ekstrinsik ini merupakan realitas bahwa manusia terikat pada nilai-nilai atau norma-norma yang diberlakukan dalam kehidupan bersama (Tedjosaputro, 2003:7). Sudarto (Tedjosaputro, 2003:31) mengatakan bahwa ada hubungan erat antara nilai, norma, sanksi dan peraturan-peraturan. Beliau mengatakan sebagai berikut:

Nilai adalah ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar, yang baik dan sebagainya. Norma adalah anggapan bagaimana seseorang harus berbuat. Agar normanya dipatuhi, maka masyarakat atau golongan itu mengadakan sanksi dan penguat.

Ilmu hukum (pidana) normatif pada hakikatnya bukan semata-mata ilmu tentang norma, justru ilmu tentang nilai. Aspek norma merupakan aspek luar atau aspek lahiriah yang tampak dan terwujud dalam perumusan perundang-undangan atau tata tertib, sedangkan aspek nilai merupakan aspek dalam atau aspek batiniah/kejiwaan yang ada di balik atau di belakang norma. Keduanya bersifat saling menunjang secara terpadu. Nilai selalu menjiwai secara konsisten berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat, baik norma agama, moral (etika), kesopanan maupun hukum.

Piaget (Salam, 2000: 67) bahwa pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Manusia mempunyai daya tahu (budi) dan daya memilih karena adanya dua macam daya inilah timbul penilaian etis atau moral terhadap tingkah laku manusia. Dalam masyarakat yang hendak teratur dan tertib, diadakanlah aturan-aturan yang semuanya justru untuk melindungi kemanusiaan, aturan untuk ketertiban hidup manusia dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral, bilamana orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam masyarakat.

Dengan demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia di masyarakat untuk melaksanakan perbuatan baik dan benar. Perlu diingat baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan benar bagi orang lain. Karena itulah diperlukan adanya prinsip-prinsip kesusilaan/moral yang dapat berlaku umum, yang telah diakui kebaikan dan kebenarannya oleh semua orang. Moral dipakai untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.

Dengan sendirinya menurut indentitas, ukuran manusia yang baik adalah yang mampu memenuhi ketentuan-ketentuan kodrat yang tertanam dalam dirinya sendiri. Ukuran ini tentunya tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan syarat untuk menjadi manusia yang bermoral, adalah memenuhi salah satu ketentuan kodrat yaitu adanya kehendak yang baik. Kehendak yang baik ini mensyaratkan adanya bertingkah laku dan tujuan yang baik pula. Jadi predikat moral mensyaratkan adanya kebaikan yang berkesinambungan, mulai munculnya kehendak yang baik sampai dengan tingkah laku dalam mencapai tujuan yang juga baik. Meskipun pada dasarnya manusia itu selalu cenderung berbuat baik, tetapi kesadaran tidak datang dengan sendirinya. Kesusilaan harus diajarkan dengan contoh yang baik, sehingga dengan demikian dapatlah terbentuk manusia susila lahir dan batin. Pokok pembicaraan tata tertib sekolah dan pendidikan moral ini adalah perbuatan manusia dengan tujuan yang hampir sama. Kalau tujuan tata tertib sekolah mengatur adalah mengatur tata-tertib masyarakat dan tingkah laku warga masyarakat dalam bermasyarakat dan bernegara sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Sedangkan pendidikan moral mempunyai tujuan mengatur tingkah laku manusia sebagai manusia.

Lingkungan pendidikan moral lebih luas daripada lingkungan tata tertib sekolah. Tata tertib sekolah berisikan perintah-perintah dan larangan-larangan agar tingkah laku manusia tidak melanggar aturan-aturan tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan pendidikan moral memerintahkan manusia untuk berbuat apa yang berguna dan melarang segala yang tidak baik. Norma moral memberikan kewajiban moral pada manusia agar kepentingan hukum dan kepentingan umum tidak dilanggar.